Blog saya sempat di-banned sama Shoutmix
Shoutmix

Agak aneh juga kalau Shoutmix nge-banned blog saya. Kejadiannya cukup tiba-tiba. Hari Jumat tanggal 26 Juni 2009 jam 14.00 pada saat blogwalking, dan nge-shout di blog teman yang menggunakan Shoutmix sebagai kotak teriaknya masih berfungsi. Lalu mulai sekitar jam 16.00, mulai ada gangguan. Saya pikir, mungkin di Shoutmix ada gangguan. Tapi setelah saya coba berulangkali, gagal. Pada saat saya klik kotak Shout, maka muncul pesan sebagai berikut :

There are some problems processing your current message.
Kindly edit and try again.
Please
report your post message to ShoutMix admin if you need any assistance.

Saya coba edit pesan yang saya tulis, tetap tidak bisa. Saya coba kosongkan kotak website, dan ketik link saya di kotak Message, gagal juga. Anehnya, kalau saya tidak cantumkan link blog saya baik di kotak Website dan Message atawa menggunakan link blog lain, maka tidak ada masalah. Juga kalau blog yang saya kunjungi menggunakan c-box atau shoutbox lain, selain Shoutmix, maka tidak ada masalah. Lalu saya coba googling, tapi tidak menemukan link yang memberikan solusi. Akhirnya saya mengirimkan email ke admin Shoutmix (jelas perintahnya seperti itu tokh?).

Hari Sabtu, karena belum ada jawaban dari Shoutmix, maka saya mencoba untuk nge-shout. Tapi tetap gagal. Akhirnya, hari Minggu saya tidak melakukan blogwalking dan nge-shout di blog teman-teman. Inet free day. Saya diamkan aja. Karena sampai hari Senin belum juga ada jawaban dari admin Shoutmix, maka iseng-iseng, saya coba nge-shout....lho, koq bisa. Aneh...aneh. Dan ternyata kejadian yang saya alami, juga dialami oleh Mas Yoyok (http://yoyok198.blogspot.com) dan Faris Bill (http://lafalofe.blogspot.com/) serta beberapa blogger lainnya.

Terus terang saya tidak tau persis apa yang menjadi penyebab dan bagaimana solusinya, karena sampai hari ini Shoutmix tidak ada membalas email saya. Apakah karena saya membuat isi pesan yang sama (jadi dianggap melalukan spam) atau mem-posting lebih dari 60 posts/jam (kalau tidak salah untuk akun Basic, dapat jatah 60 posts/hour..padahal saya tidak melakukan hal ini), atau di Shoutmix memang ada gangguan. Ngga jelas. Yang jelas blogs saya sempat di-banned sama Shoutmix.

Mungkin teman-teman ada yang mengalami hal yang sama, boleh-lah di-sharing..

Sedemikian burukkah citra Polri di mata Amnesty International?
polisi wanita indonesia

Di dalam laporan Amnesty International yang berjudul : Unfinished Business : Police Accountability In Indonesia, disebutkan bahwa citra Polri sangat buruk, menyedihkan dan memalukan. Dikatakan bahwa Polri kerap bersikap brutal pada para pecandu narkoba dan kaum wanita, khususnya pekerja seks. Selain itu, Polri juga sering meminta uang sogokan dari para tahanan jika ingin mendapatkan perlakuan yang lebih baik atau hukuman  yang lebih ringan. Ironisnya, mayoritas polisi yang melakukan tindakan tersebut tidak dihukum. Laporan tersebut didasarkan pada wawancara dengan sejumlah korban kekerasan dan lainnya, termasuk pengacara, polisi dan kelompok-kelompok HAM di Indonesia selama dua tahun.

Budaya kekerasan dan penyiksaan memang belum sepenuhnya lepas dari kalangan polisi Indonesia. Kita sering - paling tidak mendengar - bagaimana polisi menggunakan kekerasan untuk mendapatkan informasi dari para penjahat. Ada dengan cara disundut rokok, dipukul, jari (jempol) tangan atau kaki yang diletakkan di kaki meja, dan lain sebagainya. Cara-cara yang lebih intelek belum sering digunakan. Polisi masih sering menggunakan otot daripada otak.

Pada saat hendak menangkap-pun polisi sering tidak menunjukkan surat penangkapan. Tangkap dulu surat belakangan. Belum lagi soal hak dari para penjahat/tersangka pada saat ditangkap (bukan berarti saya memihak kepada penjahat/tersangka). Di Amerika sono, dikenal adanya Miranda Warning (bisa baca di http://en.wikipedia.org/wiki/Miranda_warning), yaitu satu warning yang harus dibacakan oleh polisi pada saat hendak menangkap seseorang. Isinya antara lain bahwa orang yang hendak ditangkap itu, memiliki hak untuk diam (the right to remain silent) dan hak untuk mendapatkan pengacara yang mendampingi pada saat ditanya (the right to an attorney present durring questioning). Di sini, boro-boro didampingi pengacara, muka ngga bonyok aja udah syukur :-)

Lalu ada lagi pameo yang berlaku di masyarakat, kalau kehilangan kambing, lalu lapor ke polisi malah bisa jadi hilang kerbau. Artinya, jika kita mengalami kejadian yang tidak mengenakkan - katakanlah kehilangan atau kemalingan - mending tidak melapor ke polisi, karena nantinya masalah bukan selesai malah tambah panjang. Hal ini yang mengakibatkan masyarakat enggan untuk melaporkan kerugian yang dialaminya. Belum lagi kita melihat kelakuan polisi di jalan raya. Segala cara dilakukan polisi untuk tetap menilang kita, walaupun kendaraan kita sudah lengkap, dokumen lengkap, tapi tetap aja ada alasan polisi untuk menilang. Saya pernah mendengar cerita, katanya - sekali lagi ini katanya ya..daripada nanti saya dicap mencemarkan nama baik, repot - bahwa kadangkala polisi-polisi di jalan raya tersebut diberikan target untuk menghabiskan kertas/surat tilang sekian lembar per hari. Dan hasil dari tilang tidak resmi tadi dilaporkan (baca: disetor) ke komandan di atasnya.

Masih banyak cerita-cerita 'sedih' dari kinerja polisi Indonesia. Kalau mau dituliskan di sini..wah, bakalan panjang banget. Trus, apakah polisi-polisi di luar sana - katakanlah di Amerika - tidak ada yang jelek kerjanya? Pasti ada. Tapi persentasenya mungkin kecil sehingga tertutup dengan kinerja polisi yang baik. Lalu, apakah di Indonesia tidak ada polisi yang kerjanya bagus? Ya, pasti ada dong. Masak semua polisi Indonesia jelek kerjanya. Hanya sangat disayangkan, perbuatan oknum-oknum ini lebih banyak dibandingkan yang bekerja secara baik. Ibarat pepatah : gara-gara nila setitik, rusak susu disebelah...eh, salah..rusak susu sebelanga.

Mudah-mudahan pihak Polri menanggapi laporan Amnesty International ini secara baik dan lapang dada. Bukan dengan emosi, atau bahkan membawa ke ranah hukum seperti kasus Prita dengan Omni. Polri harus mau mengakui bahwa di institusinya memang banyak kekurangan, dan berangkat dari kekurangan yang ada harus mau memperbaiki diri, mulai dari cara penerimaan calon polisi, pendidikan, gaji, pangkat dan karier dan sebagainya. Sehingga slogan : Melindungi dan Melayani tidak hanya tinggal menjadi slogan atau penghias kantor polisi atau pos-pos polisi semata. Dan ini juga diharapkan dapat menghapus citra buruk Polri dimata Amnesty International.

Semoga....

Sumber gambar : zaimpunyacita2.blogspot.com

Konvoi Moge Indonesia tidak sama dengan Hells Angels kan?
moge2

Menurut Suripno - Direktur Keselamatan Transportasi Darat Dephub - konvoi tidak perlu dikawal kepolisian. "Konvoi boleh tapi tidak perlu dikawal, hal ini sesuai dengan UU No 14/1992 tentang LLAJ. Suripno menambahkan, konvoi yang berhak dikawal polisi yakni ambulans, mobil pemadam kebakaran, mobil jenazah, mobil pejabat negara dan mobil kepala negara.

Pernyataan di atas saya kutip, berkaitan dengan kejadian yang menimpa Edwin Sudibyo (51) yang mengalami kekerasaan oleh oknum konvoi moge di Jalan Raya Puncak hari Minggu tanggal 24 Mei 2009. Edwin membawa rombongan keluarganya untuk berekreasi di Puncak, sekaligus merayakan hari ulang tahun salah satu anaknya, Raditya Fajar Adinawari (4 tahun). Kejadian naas yang menimpa keluarga ini terjadi pada saat mereka pulang dari Puncak, dimana sore itu seperti biasa mulai jam 16.00 jalan dari Puncak menuju Jakarta menjadi satu arah. Pada saat melintas di jalur kanan, maka dari arah belakang terdengar bunyi sirene vorrijder yang membawa konvoi moge. Edwinpun mengarahkan mobilnya ke lajur kiri untuk memberi ruang lebih bagi konvoi. Setelah konvoi berlalu, maka semua rombongan mobil kembali ke lajur kanan. Tak diduga ternyata masih ada konvoi moge yang ketinggalan dan ingin lewat tapi Edwin tidak bisa lagi pindah ke lajur kiri karena kondisi jalan amat padat. Di saat itulah mobil Edwin dipukul. Pada saat Edwin membuka kaca mobilnya untuk bertanya, kenapa mobilnya dipukul, dia malah dibogem. Tak hanya itu, Edwinpun dimaki dan diludahi. Pipi kanannya pun lebam.

Seringkali kita melihat kelakuan para pemilik moge ini bila melakukan konvoi suka seenaknya, kasar, arogan, marah-marah atau paling tidak melotot bila tidak diberi jalan serta masuk dan melintas di jalan tol (padahal setau saya, kendaraan roda dua dilarang masuk dan melintas di jalan tol), merasa diri paling benar, dan sebagainya. Jika menilik dari harga sebuah moge, maka saya yakin pemilik moge ini pasti berpendidikan, tau sopan santun dan tata krama di jalan. Tapi kenapa bila sudah melakukan konvoi, koq kelakuannya bisa berubah dan ingin menjadi raja jalanan. Seakan-akan ingin berkata : "wooii..ini gue mau lewat, lu orang-orang, minggir semua.."

Apakah anggota moge tidak mengetahui UU No. 14/1992 yang disebut di atas, bahwa mereka tidak berhak dikawal vorrijder? Apakah mereka tidak mengetahui jika berada di jalan mereka harus berada di lajur kiri sama seperti pemilik molik (motor cilik) lainnya? Apakah karena semangat espirit de corps yang berlebihan yang membuat mereka jadi ngawur di jalanan, dan ingin seperti atau lebih dari Hells Angels? Lho, katanya berpendidikan? Lho, katanya para anggotanya banyak petinggi negara? Kasih contoh yang baik dong..Anda patuh dan sopan berlalu lintas pada saat konvoi, kita juga akan hormat.

Kejadian yang menimpa keluarga Edwin Sudibyo cukup membuat anak-anaknya trauma dan merasa kapok ke Puncak. Untunglah pihak Polsek Cisarua memberikan respon yang positip dan sudah melakukan penyidikan. Semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran yang baik bagi para pemilik moge atau klub moge bahwa jalan raya adalah jalan umum, artinya untuk umum, bukan jalan pribadi. Dan mereka mau berubah dan mematuhi semua aturan dan undang-undang yang berlaku. Tanpa kecuali.

Bagaimana teman-teman..apakah anda pernah mengalami kejadian yang tidak menyenangkan dengan konvoi moge?

UU ITE : kalau memang harus direvisi, kenapa tidak?
UU ITE

Kasus yang menimpa Prita Mulyasari sudah 'melebar' kemana-mana. Pihak Kejaksaan Agung telah memeriksa PN Tangerang dan sudah mengakui ada kelalaian dalam penanganan kasus tersebut. Pengurus Besar IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sudah membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini. Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat antara Komisi IX DPR dan RS Omni, pihak Komisi IX akan mengirimkan rekomendasi ke Departemen Kesehatan untuk mencabut izin operasional RS Omni Internasional. Bahkan kasus ini sudah mendunia. Di headline Strait Times tanggal 3 Juni 2009 tercantum : Jailed for Hospital Complaint.

Dalam satu acara bincang-bincang antara Kepala Pusat Informasi dan Humas Depkominfo Gatot Dewa Broto dan seseorang yang mewakili blogger (saya lupa namanya) serta Prita Mulyasari di salah satu stasiun televisi swasta, Gatot Dewa Broto mengakui bahwa kurangnya faktor sosialisasi UU ITE  No. 11 Tahun 2008 sedikit banyak menimbulkan masalah di masyarakat. Dari acara ini juga saya baru mengetahui (termasuk Prita Mulyasari) bahwa selain tidak tepatnya pasal 27 ayat 3 dari UU ITE dikenakan kepada Prita Mulyasari, ternyata ada pasal lain yang menyangkut mengenai penahanan yaitu dalam pasal 43 ayat 6 : "Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam".

Tapi yang terjadi di lapangan adalah berbeda. Niat baik dari Prita Mulyasari memenuhi panggilan PN Tangerang, tidak serta merta ditanggapi secara baik dan bahkan pada hari yang sama PN Tangerang langsung menahan dan memasukkan Prita Mulyasari ke dalam penjara. Apakah ada unsur 'kerjasama' antara RS Omni dan pihak pengadilan? Atau benarkah informasi bahwa adanya pemberian layanan gratis kepada jaksa di Kejari Tangerang oleh Omni International? Saya tidak tau dan tidak mau mencampuri sampai ke sana.

Yang hendak saya soroti adalah, apakah karena kurangnya faktor sosialisasi UU ITE ini, sehingga pihak kejaksaan tidak mengetahui dan meneliti adanya pasal 43 ayat 6 seperti yang telah disebut di atas. Lha, kalau saja pengadilan Negeri Tangerang yang jaraknya hanya 'sepelemparan batu' dari Ibukota Jakarta dimana UU ITE ini disahkan tanggal 21 April 2008 tidak mengetahui secara lengkap isi UU ITE ini, bagaimana pula dengan kantor-kantor kejaksaan yang ada didaerah-daerah? Jangan-jangan ada jaksa yang malah baru mengetahui adanya UU ITE karna kasus Prita Mulyasari ini mencuat.

Alangkah bijaksananya bila pihak Depkominfo mau me-review pasal-pasal mana yang masih bersifat multitafsir, yang masih banyak menimbulkan masalah dan bahkan kalau perlu merevisinya. Kita semua butuh payung hukum/aturan seperti UU ITE ini, itu pasti. Tapi jika ada pasal-pasal yang membuat masalah, dan bahkan menjadikan semacam ketakutan bagi masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya, jelas kita tolak. Pak Gatot sendiri menyatakan bahwa dengan kasus Prita ini, pihaknya khawatir jika gelombang penolakan terhadap UU yang masih seumur jagung itu bertambah besar.

Pak Gatot, bapak tentu tidak ingin-kan, para blogger yang katanya jumlahnya sudah hampir 1 juta ini, jadi takut untuk posting, takut dipenjara, lalu berhenti posting dan hanya posting job ripiu saja? hehe...Padahal kalau hanya posting job ripiu aja juga ngga baik pak..PR blog pasti digebuk sama om gugel. Bapak juga tidak ingin-kan, kalau semua orang menjadi trauma seperti yang dialami Prita?

Mudah-mudahan semua pihak terkait mau mengkaji ulang UU ITE sehingga UU ini benar-benar dapat melindungi semua warga, dan bukan dijadikan alat bagi pihak-pihak tertentu untuk menghukum pihak lain, terutama pihak yang lemah. Dan kita tidak perlu menunggu sampai ada Prita-prita lain, barulah UU ITE ini direvisi. Kalau memang harus direvisi, kenapa tidak?

PS : Pak Gatot, saya menulis artikel ini tidak kena pasal 27 ayat 3 UU ITE kan?

Sumber gambar : www.stephenlangitan.co.nr

Déjà vu : kayaknya saya pernah.....
Dejavu

Ditengah-tengah asyiknya ngobrol dengan teman, tiba-tiba saya merasa : kayaknya saya udah pernah mengalami kejadian mengobrol ini sebelumnya. Dan berusaha keras untuk mengingat kapan dan dimana. Tapi tidak berhasil. Yang saya yakini saya pernah mengalaminya.

Peristiwa yang saya alami tersebut dinamakan Déjà vu, sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.

Menurut Wikipedia : Déjà vu (/ˈdeɪʒɑː ˈvuː/) adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan". Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini.

Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan fenomena Déjà vu, misalnya ada yang menyebutkan terkait dengan umur dan penyakit degeneratif, lalu ada juga yang mengaitkan Déjà vu berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau.

Dalam otobiografinya - Tusday Lobsang Rampa, seorang Lama di Tibet - yang berjudul Mata Ketiga disebutkan : "pada saat manusia berbaring untuk beristirahat, jiwanya melepaskan diri dari badan wadagnya, dan akan melayang-layang ketika tidur datang. Jiwanya akan tetap berhubungan dengan tubuh fisiknya melalui sebuah 'benang perak' yang akan tetap berada ditempatnya sampai saat kematian. Mimpi-mimpi yang dialami oleh seseorang adalah pengalaman yang dialami oleh jiwa pada waktu tidur.

Apakah kejadian di atas ada hubungannya dengan Déjà vu ?

Saya tidak bisa menjawabnya. Tapi yang pasti saya pernah mengalami Déjà vu. Bagaimana dengan teman-teman, apakah pernah mengalami Déjà vu ?

Oya, kalau pas membaca artikel ini dan merasa, koq saya pernah melihat blog ini ya? Itu bukan karna Déjà vu. Tapi itu karna sobat pernah dan sering blogwalking ke sini atau sedang googling dan nyasar ke sini..hehe

Sumber gambar : www.timrusswebpage.net

UU ITE : Kasus Prita Mulyasari & Kebebasan Berekspresi
Ekspresi

Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah diterapkan, dan kembali memakan 'korban'. Kali ini terjadi pada seorang ibu rumah tangga bernama Prita Mulyasari, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapatkan kesembuhan, malah penyakitnya bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit serta rekam medis yang diperlukan pasien. Kemudian Prita Mulyasari Vila - warga Melati Mas Residence Serpong ini - mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut lewat surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional berang dan marah, dan merasa dicemarkan.

Lalu RS Omni International  mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Saat ini Kejaksaan Negeri Tangerang telah menahan Prita Mulyasari di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Banyak pihak yang menyayangkan penahanan Prita Mulyasari yang dijerat pasal 27 ayat 3 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), karena akan mengancam kebebasan berekspresi. Pasal ini menyebutkan :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Beberapa aliansi menilai : bahwa rumusan pasal tersebut sangatlah lentur dan bersifat keranjang sampah dan multi intrepretasi. Rumusan tersebut tidak hanya menjangkau pembuat muatan tetapi juga penyebar dan para moderator milis, maupun individu yang melakukan forward ke alamat tertentu.

Kasus ini juga akan membawa preseden buruk dan membuat masyarakat takut menyampaikan pendapat atau komentarnya di ranah dunia maya.  Pasal 27 ayat 3 ini yang juga sering disebut pasal karet, memiliki sanksi denda hingga Rp. 1 miliar dan penjara hingga enam tahun.

Lalu, apakah para blogger jadi takut dan surut bahkan berhenti untuk nge-blog karna UU ITE ini? Menurut saya sih tidak perlu, yang penting kita harus pintar-pintar (waspadalah..waspadalah..kata Bung Napi) agar tidak terjerat pasal karet tersebut. Berikut ini ada beberapa saran dari tim advokasi blogger agar tidak tersandung masalah seperti yang dialami Prita Mulyasari :

1. Jangan menulis untuk sekedar mencari perhatian atau sensasi, supaya trafiknya meningkat.
2. Jika ingin mengkritisi, fokus kepada masalah, tidak menyebar atau melenceng dengan embel-embel tertentu.
3. Tulisan harus didukung dengan data dan fakta.
4. Jangan sungkan-sungkan meminta maaf.
5. Berikan solusi, blogger harus bisa memberikan jalan keluar dari masalah yang sedang dikritisinya.

Mudah-mudahan saran di atas dapat membantu...lha, bayangkan sob dendanya Rp. 1 Milyar, mesti mengerjakan berapa job repiu sampai terkumpul Rp. 1 M...hehe.

Sumber gambar : www.kafebalita.com  \ UU ITE 2008 bisa di download di sini