“Gemah Ripah Loh Jinawi,” peribahasa tersebut pastinya sering kita dengar untuk menggambarkan negeri kita tercinta ini. Ya negeri kita memang kaya. Hutan tropis, tanah yang subur membentang luas. Bahkan beberapa menyebutnya Zamrud Khatulistiwa. Hasil lautnya-pun kaya. Pasti kita semua setuju dengan kalimat tersebut. Bahkan di SD-pun kita sering dibuai dengan kata-kata : "anak-anak, Indonesia itu terletak diantara dua benua dan dua samudera, negara yang kaya, bla, bla,bla".
Salah satu sumber kekayaan bangsa ini adalah potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Indonesia memiliki panjang garis pantai 95.181 Km dan dengan luas laut 5.800.000 Km2. Dengan garis pantai dan luas laut sebegitu besarnya, seharusnya Indonesia bisa menjadi negara yang makmur atau menjadi negara Palu Gada (apa lu mau, gua ada). Tapi, ada yang ironi. Apa itu?
Contohnya garam. Kita semua tau apa itu garam. Dan kita semua tau rasa garam itu asin. Tapi rasa garam ini bisa jadi "pahit" bagi Indonesia khususnya petani garam. Kenapa? Ternyata sampai sekarang kita masih mengimpor garam. Jumlahnya juga cukup besar, yaitu kurang lebih 1,58 juta ton per tahun senilai Rp. 900 miliar (kompas.com). Baca sekali lagi...900 miliar per tahun.
Garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap kita impor. Kita telah memiliki beberapa wilayah sebagai sentra produksi garam. Antara lain, Pati, Rembang, Demak, Indramayu, Cirebon, Sampang, Pamekasan, Pasuruan, Jeneponto, Bima, dan Kupang. Tapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri sehingga harus mengimpor. Impor terbesar adalah dari Australia (http:/www.dekopin.coop/).
Alasan yang sering dikemukakan adalah mengenai kualitas garam. Garam lokal tidak mampu bersaing dengan garam impor, karena garam impor mengandung NaCl 97 persen ke atas, sedangkan garam lokal paling bagus 80 persen. Dan ketika harga garam impor beda tipis dengan garam lokal, maka konsumen pasti lebih memilih garam impor. Akibatnya beberapa pengusaha garam sudah mulai mengurangi produksinya dan puluhan ribu petani garam mulai menganggur. Kadar NaCl garam lokal yang rendah, diakibatkan petani garam telah memanen garam setelah dikeringkan 3-4 hari. Padahal jika dikeringkan selama 15-20 hari maka kadar NaCl dapat mencapai 97 persen. "Petani lebih mementingkan urusan perut ketimbang kualitas," kata Djono Kepala Bagian Produksi UD Apel Merah, Rembang, Jawa Tengah (kompas.com).
Deputi Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi mengatakan, produk impor garam yang selama ini diperoleh dari Australia merupakan produk yang memenuhi kadar NaCL karena merupakan barang tambang. Sedangkan di Indonesia tidak ada, karena yang ada hanya garam laut, tapi kadarnya itu tidak murni. Lalu, pertanyaannya, apakah kita bisa membuat dan meningkatkan kadar NaCl garam laut? Pasti bisa dong. Tapi mau atau tidak. Yang sering terjadi adalah tidak mau. Atau mungkin tidak mau cape'. Kalau bisa lebih cepat dan gampang dengan mengimpor, kenapa harus cape-cape memproduksi.
Pemerintah harus segera mengambil tindakan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) sudah meminta pemerintah untuk menghentikan impor garam. Menurut Kadin impor garam ini membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim jadi tidak bermartabat dan memalukan. Pemerintah bisa mengalihkan dana impor - Rp. 900 miliar - untuk perbaikan mutu garam lokal sehingga garam tidak terasa 'pahit' bagi petani.
Komoditas garam, adalah salah satu dari beberapa produk pangan yang kita impor. Produk pangan lainnnya adalah seperti kedelai, susu, daging, dan lain-lain. Yang secara keseluruhan untuk mengimpor produk pangan ini, Indonesia harus menguras 'kocek'nya kurang lebih Rp. 50 triliun setiap tahun. Kalau pemerintah Indonesia mengabaikan sektor pertanian dan perikanan (yang notabene kita memiliki potensi rrruarrr biasa), dikhawatirkan cadangan devisa kita akan semakin terkuras.
Indonesia, sebagai negara maritim, seharusnya mengekspor garam bukan mengimpor garam.
Sumber gambar:http://matanews.com/