Ketika minggu yang lalu kami berada di Medan untuk pengambilan gambar “Wisata Kuliner” TransTV, saya tertawa ketika mengetahui Camelia, produser program ini, ternyata sudah menyiapkan program pribadi selama di Medan. Dalam kategori wajib termasuk sarapan soto udang di Jalan Kesawan, makan siang di RM “Jemadi”, dan nongkrong di Merdeka Walk. Dalam kategori harus, daftarnya semakin panjang.
Medan, tak pelak lagi, memang surga kuliner. Pengakuan ini tidak saja diberikan oleh warga Indonesia, melainkan juga di luar negeri. Orang-orang Penang (Malaysia) dan Singapura banyak yang mengaku suka makanan Medan. Sebaliknya, seolah-olah memang harus terjadi imbal-balik (reciprocity), orang Medan pun menyukai makanan Penang dan Singapura.
Menjelang akhir tahun lalu, saya diundang menjadi juri lomba penulisan review kuliner di sebuah tabloid populer Medan, Aplaus. Kesan saya setelah membaca tulisan-tulisan peserta lomba, orang-orang Medan sendiri ternyata tidak cukup memiliki pengetahuan yang lengkap dan menyeluruh tentang kekayaan kuliner yang menjadi kekuatan daya tarik pariwisata Medan.
Medan memiliki keunikan lebih – antara lain – karena adanya pemengaruhan dari kultur kuliner India dan Tionghoa terhadap kuliner Melayu yang kaya dan unik. Sayangnya, sama dengan masakan Betawi yang kian terpinggirkan di Jakarta, masakan Melayu pun agaknya kurang mendapat platform yang pantas dan terhormat di Medan.
Untungnya ada RM “Serai Wangi” yang menyajikan masakan Melayu setiap hari. Masakan khas Melayu-Deli yang perlu dicicipi adalah bubur pedas yang dibuat dari sekurang-kurangnya 44 macam bahan dan bumbu. Juga anyang – masakan seperti urap di Jawa. Sayurnya jantung pisang, pakis, dan tauge. Sambal serainya sangat gurih, karena diisi udang basah dan udang kering, dengan kelapa bakar yang ditumbuk. Anyang kesukaan saya adalah yang dicampur dengan ikan pari bakar. Heavenly!
Jangan lupa memesan sambal janmuk (janda mengamuk), yaitu sambal terasi yang ditumis dengan jengkol, buncis, dan pare. Ada juga sambal raja berangkat (nama lainnya adalah sambal kerak kelapa) yang dibuat dari kelapa panggang kemudian ditumbuk dengan berbagai bumbu, dimakan dengan lalapan. Gulai masam ikan senangin-nya sangat bagus. Terasa berlemak, padahal tanpa santan, dengan tone rasa kincung (kecombrang) yang memesona.
Saya khawatir sudah tidak banyak lagi orang Medan yang kenal kue harum legit yang disebut tepung banda. Dessert yang memukau ini juga sering disebut bolu kamboja. Sebuah penamaan yang sebetulnya justru keliru karena kue ini jauh lebih lezat dibanding bolu.
Setiap kali berkunjung ke Medan, hampir tidak pernah saya sarapan di hotel, sekalipun sudah tersedia sarapan gratis yang termasuk dalam tarif sewa kamar. Siapa sih yang mau menukar kelezatan semangkuk Soto Medan dengan scrambled egg with toast sajian default di hotel-hotel?
Sudahlah, kita tidak perlu bergaduh untuk menetapkan mana Soto Medan yang paling juara di kota ini. Tapi, kesukaan saya adalah yang di Jalan Sungai Deli. Kelezatan kuah sotonya dan keempukan dagingnya sangat dipujikan. Tetapi, adalah rempeyek udangnya yang membuat saya memilih tempat ini sebagai favorit. Ada lagi Soto Udang di Jl. Kesawan (A. Yani) yang tidak boleh dilewatkan. Pemiliknya adalah orang Jawa. Soto udangnya dahsyat! Tiada dua!
Tempat sarapan favorit lainnya adalah RM “Tabona”. Dari pagi diantre orang. Jualannya adalah kari ayam dan kari lembu (sapi). Bisa dimakan dengan nasi atau bihun. Jangan coba-coba ke sana kalau tidak mau ketagihan!
Di kawasan Glugur ada kedai yang sangat populer dengan jualan Sop Sumsum khas Langsa. Sopnya encer dan segar – membuat kita merasa kurang bersalah. Padahal, isinya sungguh berlemak! Tulang kaki sapi dengan sumsum di dalamnya. Sumsum sapi lebih mudah menjadi encer ketika dipanaskan, sehingga dapat dihirup dengan sedotan minuman. Sluuuurrrrp!
Di kawasan Titi Bobrok juga ada jualan serupa, tetapi dari kerbau. Selain sop dan sop sumsum, juga tersedia daging kerbau panggang. Wuah, pada jam makan siang yang antre sampai melimpah ke luar warung. Ada juga warung yang buka sore hari dan menjual sop kepala kambing utuh.
RM “Jemadi” di Glugur adalah sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Melayu dengan sentuhan Jawa. Hidangan andalannya adalah udang goreng yang besar-besar (udang laut maupun udang galah dari sungai), dan gulai kepala ikan yang lebih soft dibanding gagrak Aceh dan Melayu. Gulai kepala ikannya bernuansa segar karena dibumbui asam glugur dan daun jeruk. Tersedia pula berbagai masakan Jawa dengan citarasa yang otentik.
Jangan lupa bahwa Medan juga merupan kota tempat bermukim banyak sekali orang-orang Tapanuli dengan tradisi kuliner yang tidak kalah dahsyat. Kuliner Tapanuli tersaji dalam dua segregasi utama, yaitu: halal dan non-halal (mengandung babi, dan kadang-kadang juga anjing)
Gagrak masakan Tapanuli Selatan (halal) di Medan diwakili oleh dua rumah makan terkenal, yaitu RM “Padang Sidempuan” dan RM “Nasrul Sibolga” di Jalan Sisingamangaraja. Yang disebut terakhir juga mengkhususkan pada masakan Tapanuli Selatan gaya pesisir. Hidangan khasnya adalah gulai ikan salai (ikan lele asap), pale (pepes) isi teri dan daun singkong, ikan geleng (ikan kembung cabut duri), dan daun ubi tumbuk (sayur daun singkong yang ditumbuk halus, dicampur rimbang). Selain kedua rumah makan itu, banyak lagi rumah makan Tapsel Madina (Tapanuli Selatan Mandailing Natal) yang masing-masing punya andalan khas.
Untuk versi non-halal, pilihannya cukup beragam – termasuk begitu banyak lapo yang menghidangkan BPK (Babi Panggang Karo). Saya terpaksa menampilkan favorit saya, yaitu RM “Siagian” di Jalan Darat. Tetapi, sejak beberapa bulan lalu, ada sebuah rumah makan baru bernama “Onma Tabo” – menyajikan masakan Tapanuli, tetapi pemilik dan jurumasaknya orang keturunan Tionghoa. Saksang ayam-nya mak nyuss!
Berbagai makanan Tionghoa yang saya sukai bukanlah dari kios-kios di sepanjang Jalan Semarang dan Jalan Selat Panjang, melainkan terpencar di berbagai sudut kota. Bihun bebek, misalnya. Saya kenal dua tempat favorit untuk makan bihun bebek. Yang pertama di daerah Kesawan, dikenal dengan nama Bakmi Kumango. Yang lain lagi, Bihun Bebek Asuk, beralamat di Jl. Gandhi. Juga Bakmi “Hock Seng” yang sudah saya tulis dua minggu yang lalu.
Bila malam hari tiba, salah satu tempat favorit untuk mencari makan adalah justru sepanjang Jalan Semarang dan Selat Panjang yang membuat kita srasa berada di Hong Kong atau Singapura. Kalau mau makan ringan, pesan saja tau kua he ci yang juga populer disebut lap choy. Tau kua adalah tahu kuning padat. He ci adalah rempeyek udang. Hidangan ini juga memakai kangkung, tauge, cumi-cumi, dan kepiting, disiram kuah asam manis.
Untuk Kwetiauw Medan yang terkenal, saya justru lebih suka versi halal yang disajikan oleh Akuang di Jalan Pagarruyung. Mengikuti pakem tradisional, kwetiauw (atau disebut juga sebagai mie tiauw) ini dimasak di atas tungku arang agar kering dan tidak lengket. Isinya udang dan bakso ikan dalam porsi yang generous. Char kway teow Penang lewat, dah!
Di “sektor” India, ada satu tempat kecil dan terpencil yang saya sukai untuk makan pagi, yaitu Warung Ibu Manu di Jalan Kangkung. Hidangannya adalah sarapan a la India dengan putumayam, putu, kue mangkok, dan thosai. Untuk makan siang atau makan malam a la India, di Jalan Teuku Cik Ditiro berbaris beberapa rumah makan yang menyediakan masakan autentik India Utara dan Selatan, vegetarian maupun non-vegetarian. Di Jalan Pagarruyung juga berbaris berbagai pedagang makanan India maupun peranakan India.
Spektrum oleh-oleh Medan pun sekarang telah bertambah kaya – tidak lagi terbatas pada Bika Ambon dan Sirup Markisa. Tentu Anda sudah kenal Bolu Gulung Meranti yang selalu diantre orang. Tetapi, bagaimana dengan Risoles Agogo dan lemper ketan hitamnya yang sunggut legit?
Di Medan, makan-makan memang tidak ada matinya. Mengutip kata-kata Jenderal McArthur, terhadap kota ini saya selalu berkata: I shall return!
Sumber : dari catatan perjalanan Bondan Winarno, ahli kuliner yang Maknyussss.
Catatan Pribadi : yang agak kurang di kuliner Medan adalah ragam sayuran.
0 komentar:
Post a Comment