"Papua akan mencoba referendum pada bulan Maret mendatang. Ini masalah serius," kata Ketua Umum Laskar Merah Putih, Eddy Hartawan, sebelum acara doa lintas agama di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (30/1/2010) malam ini.
Berita di atas saya baca di kompas.com (Sabtu, 30 Januari 2010), mengenai keutuhan Negara Republik Indonesia yang terancam dengan rencana lepasnya Papua dari NKRI. Apakah Papua akan bernasib sama dengan Timor Timur (Timor Leste) yang sudah lepas dari Indonesia?
Sekedar mengingat mengenai Timor Timur, pada tanggal 30 Agustus 1999, PBB mengadakan sebuah referendum di Timor Timur yang diikuti oleh 450.000 penduduk Timor Timur (sekitar 98,6 persen dari penduduk yang terdaftar). Isi referendum saat itu adalah pilihan bagi rakyat Timor Timur dengan dua opsi yaitu tetap jadi bagian Indonesia dengan status otonomi luas, atau berdiri sendiri lepas dari Indonesia. Hasilnya, seperti yang diumumkan oleh Sekjen Kofi Anam tanggal 4 September 1999 : 79% penduduk yang berhak memilih menghendaki merdeka lepas dari Indonesia, 21% mau tetap menjadi bagian Indonesia dengan iming-iming status otonomi luas. Timor Timur-pun lepas dari Indonesia dan saat ini berganti nama menjadi Timor Leste.
Lalu, apakah Papua akan berdiri sendiri lepas dari Indonesia?
Kenapa Papua berniat mengadakan referendum? Pasti ada penyebabnya. Salah satu penyebabnya adalah rakyat Papua merasa bahwa mereka tidak memiliki dan merasakan hasil dari bumi Cendrawasih. Hasil bumi mereka hanya diambil sebanyak-banyaknya, tapi mereka hanya menikmati sisa-sisanya saja. Kemakmuran masih jauh dari mereka.
Coba lihat apa yang ditulis oleh Socrates Sofyan Yoman di dalam bukunya (*) yang telah dilarang. Bahwa sejak diklaim bergabung dengan Republik Indonesia pada 1963, rakyat Papua merasa hidup dalam penjajahan. Dalam catatan Yoman, selama 3,5 abad Belanda menjajah, tak satu pun peluru melukai rakyat Papua. Justru di bawah Indonesialah darah bersimbah di bumi Cenderawasih.
Melalui buku terbarunya ini, Socrates Sofyan Yoman berusaha menjawab doktrin keliru yang diajarkan pemerintah kepada masyarakat Indonesia tentang Papua Barat. Bisa juga disebut sebagai kritik. Bahwa sejak diklaim bergabung dengan Republik Indonesia pada 1963, rakyat Papua merasa hidup dalam penjajahan.
Di dalam bukunya Yoman menulis, OPM –selama ini diartikan pemerintah Indonesia sebagai Organisasi Papua Merdeka – adalah sebuah gerakan separatis atau makar. Padahal tak begitu. Bagi orang asli Papua, OPM kependekan dari Otonomi, Pemekaran, Merdeka.
Artinya, program otonomi yang dicanangkan sejak 1969, kemudian diperkuat lagi dengan otonomi khusus pada 2001, gagal. Program pembentukan daerah baru yang dijalankan berbarengan dengan otonomi khusus justru mengacaukan tatanan kehidupan ekonomi sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Orang etnis asli Papua semakin terpinggirkan. Bahkan terancam dipunahkan secara sistematis.
Akankah Papua melakukan referendum dan lepas dari NKRI?
Mudah-mudahan Papua – meminjam istilah B.J Habibie - tidak menjadi kerikil di dalam sepatu, seperti Timor Timur dulu. Dan melepaskan diri dari Indonesia. Pemerintah pusat harus segera menanggapi hal ini dengan baik dan tegas. Tapi ingat bukan dengan model represif seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintahan dulu di Aceh. Semoga Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia.
(*) : Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri. Penerbit: Reza Enterprise, 2008
Gambar: google.com