Indonesia Seperti Kafilah Berlalu

Saat dunia melaju, Indonesia tetap sama saja. Kemajuan berarti tak dicapai di dalam banyak hal. Bahkan, lebih ironis lagi, saat harga minyak naik, rakyat Indonesia sebagai pemilik minyak malah ketiban kenaikan harga bahan bakar minyak. Ibaratnya, dunia mengarah ke Barat, RI bergerak sesuka hatinya.

Bahkan, negeri ini, yang pernah menjadi bagian dari ekonomi Asia yang ajaib pada awal dekade 1980-an, malah makin ganjil dengan segala persoalan kemiskinan, konflik sosial.

Sebagaimana pernah diutarakan Menkeu sri Mulyani di sebuah seminar, martabat bangsa ini tak dipandang di jajaran bangsa-bangsa. Demikian pula di Forum Ekonomi Dunia bagi Asia Timur, yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, Minggu-Senin lalu, tak ada warna Indonesia, kecuali kehadiran Menperdag Mari Pangestu.

Adalah Vietnam yang lama diporak-porandakan perang dan sistem komunis yang kaku kini malah menjadi negara yang masuk dalam layar radar dunia.

Kesan ketertinggalan ini semakin terasa dalam forum-forum internasional. Sebagai bangsa besar, dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk, Indonesia tak disinggung-singgung dalam konteks positif. Jika ada contoh negatif, Indonesia adalah contoh paling mudah diajukan.

Seperti kata Ketua Dewan Direksi Nestle (Swiss) Peter Brabeck-Letmathe, Indonesia mengalami persoalan dalam produksi sektor pertanian karena tidak memiliki sistem pertanian, yang didukung riset bagus, dan prasarana pendukung sektor pertanian, seperti harga pupuk yang terjangkau dan infrastruktur jalanan ke seluruh sudut pedesaan.

Bahkan, lebih ironis, Indonesia pemilik gas dan bumi malah tak mampu menyediakan pupuk bagi petani dengan harga relatif rendah, malah meroket.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Sadono Sukirno, pensiunan dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malaya, di Kuala Lumpur, mengatakan, "Saya sudah mengamati sejak lama bahwa saya yakin dengan apa yang dikatakan Bapak Ekonomi Adam Smith.

Maksudnya, jika setiap orang melakukan tugas masing-masing secara maksimum, bukan cenderung menuding orang lain, maka perekonomian akan jalan. Sadono suka merasa heran sendiri jika dalam setiap pertemuan mendengar beberapa pihak yang cenderung menyalahkan orang lain. "Tanya dulu diri Anda, apa sudah bertindak benar," kata Sadono. "Saya yakin Indonesia tidak bisa maju. Saya malah melihat Indonesia punya orang hebat," lanjut Sadono.

Seiring dengan ucapan Sadono itu, benar juga bahwa pada tingkat tertentu, peran individu menjadi penting demi kemajuan. Namun, ada batas kemampuan individu jika ada hambatan dalam melakukan tugas, ya, seperti preman jalanan yang suka mengutip, polisi yang suka mengintai truk angkutan, petugas dinas perhubungan yang suka menantikan truk boks, dan pemda yang tak menyediakan jalan mulus.

Karena berbagai macam hambatan seperti itu, Indonesia seperti kafilah berlalu. Indonesia belum bisa secara total menjadi bagian dari global supply chain (mata rantai global), khususnya dalma konteks ekspor impor secara signifikan.

Sumber : Simon Saragih dari Kuala Lumpur (Kompas, 18 Juni 2008)

0 komentar: