Menjadikan Anak Sebagai Sahabat

Menjadikan Anak Sebagai Sahabat

Ketika saya menulis "The Confession of a Gaptek Man" banyak orang yang merasa risih membaca gaya anak-anak saya berkomunikasi dengan saya di rumah. Bahkan ada ada yang bertanya, apakah memang begitu?
Kalau dalam suasana rileks dan tak ada orang lain di rumah kami memang begitu. Banyak bercanda, memakai bahasa gaul dan seperti sahabat saja. Tapi cilakanya kebiasaan itu kadang-kadang terbawa-bawa juga di depan orang lain. Dan hal ini tentu saja akan menimbulkan keheranan. Ibu saya, misalnya, sering bertanya, "Bagaimana sih caramu mendidik anak?"
Dulu ketika belum kawin saya sering berkata dalam hati, "Kalau nanti saya punya anak, saya tidak mau mendidiknya seperti bapak saya mendidik saya...."
Sepanjang yang saya ingat hubungan saya dengan bapak saya terlalu kaku dan acapkali penuh ketegangan.
Saya tak pernah merasa bapak sebagai sahabat. Nah, ketika saya punya anak, saya ingin membuat anak-anak saya sebagai sahabat.
Membuat anak-anak menjadi sahabat memang mempunyai konsekwensi. Urusan menjadi bertele-tele. Semua harus dirembukkan. Dan bisa dibayangkan betapa susahnya diskusi yang terjadi antara dua fihak yang berbeda usia, pengalaman hidup, cita-cita, latar belakang pergaulan dsb. Ketika melihat saya dan anak-anak sedang berdebat panjang lebar tentang sesuatu yang sepele (misalnya baju apa yang harus dipakai ke pesta ulang tahun teman), maka salah seorang adik saya yang kebetulan datang bertamu tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Sekarang saya baru mengerti mengapa Suharto tidak suka dengan gagasan demokrasi dan kebebasan...."
Membuat anak-anak menjadi sahabat juga acapkali menguras pikiran dan perasaan. Kadang-kadang saya terpancing dan nyaris mengatakan, "Yang berkuasa di rumah ini kalian atau saya?" Tapi dalam persahabatan isyu kuasa dan otoritas tentu sudah tidak terlalu relevan lagi.
Tapi ketika anak-anak bertumbuh semakin besar maka saya sadar bahwa keputusan membuat mereka menjadi sahabat adalah sesuatu yang benar. Terlalu banyak hal di luar sana yang dilihat dan dipelajari oleh anak-anak, dan yang tak mungkin saya deteksi, kalau saya tidak membuat suasana hubungan yang setara dan rileks.
Hanya dengan bercanda di tempat tidurlah saya baru tahu apakah mulutnya bau alkohol atau tidak, dan apakah di tangannya ada bekas suntikan atau tidak.
Hanya dengan ngomong ngalor-ngidullah maka anak-anak akan keceplosan dan saya bisa tahu "dosa" apa yang dibuatnya di sekolah tadi. Hanya dengan berbicara yang "bego-bego"-lah saya baru bisa mengukur sudah sedalam apa "ilmu" yang dikuasainya dan yang dipungutnya dari pinggir jalan sana.
Dengan membuat anak-anak sebagai sahabat maka di dalam dirinya akan tumbuh kesadaran: Bahwa apa pun persoalan yang menimpanya, maka janganlah lebih dulu menyelesaikannya sendiri dengan orang "pinggir jalan". Ada ayah dan ibu di rumah yang secara rileks tapi sungguh-sungguh bersedia membantu memecahkan seberat dan sepelik apa pun persoalan.

 

Oleh : Mula Harahap di posting tanggal 1 Oktober 2007 di Milis Iluni Immanuel.

 

0 komentar: