Saya dan Kura-kura Saya

Saya rasa para pedagang yang selalu berkerumun di depan pagar SD (terutama SD Negeri yang marjinal itu) adalah manusia yang paling kreatif dan inovatif. Mereka selalu tahu bagaimana caranya memberi nilai tambah kepada sebuah barang, yang oleh orang dewasa sebenarnya sudah dianggap tak berguna, sehingga di mata anak-anak kecil yang penuh imajinasi dan fantasi, barang tersebut menjadi sesuatu yang istimewa.

Ketika anak lelaki saya masih duduk di bangku SD saya selalu geleng-geleng kepala melihat oleh-oleh yang dibawanya pulang dari sekolah, dan yang dibelanjakannya dengan uang jajannya yang kecil itu. Sekali waktu anak saya membawa sebuah "gramafon". Dan yang dimaksud dengan gramafon adalah sebuah kotak dari karton (corrugated paper) dan di tengahnya ada sebuah piringan hitam yang didudukkan di atas sebuah paku.

Piringan hitam yang tampaknya adalah bahan propaganda sebuah kelompok kekristenan itu pasti diperoleh si pedagang dengan cuma-cuma. Bila piringan hitam itu diputar dengan tangan maka akan terdengarlah suara--seperti dalam filem kartun Woody Woodpecker--yang mengatakan,"Jesus loves you…..Jesus loves you….Jesus loves you….".  Karena yang dipakai untuk mengikuti alur pada piringan hitam itu adalah paku biasa (bukan jarum khusus untuk gramofon) tentu saja alur piringan hitam itu jadi cepat "jebol" dan hanya mengeluarkan suara
yang sama secara berulang-ulang. Bisanya suara yang berulang-ulang itu pun hanya bisa terdengar sampai menjelang anak saya mandi sore (karena, setelah itu alur piringan hitam tersebut sudah semakin rusak). Dan tamatlah usia gramofon itu.Tapi siapa perduli? Dengan uang jajan hanya beberapa ribu rupiah, besok-lusa akan ada lagi barang lain yang lebih menggelitik imajinasi.

Sekali waktu lagi anak saya membawa beberapa "pistol air". Dan yang dimaksud dengan pistol air adalah alat suntik yang jarumnya telah dibuang. Tapi alat itu tentu saja masih bisa menyedot dan menembakkan air kemana-mana. Si pedagang yang kreatif dan inovatif itu pasti menemukan onggokan alat suntik tersebut di bak sampah sebuah rumah sakit atau poliklinik. Cilaka tigabelas! Saya tidak tahu pantat siapa saja yang telah ditembus oleh alat suntik tersebut, dan apa penyakitnya. Karena itu "pistol air" tentu saja harus saya sita dengan disertai sebuah kuliah panjang-lebar mengenai kesehatan, dan yang pasti tak dimengerti oleh anak saya.

Sekali waktu lagi anak saya membawa umang-umang (hermit crab). Binatang ini memang tidak berbahaya . Tapi sepanjang siang saya terganggu oleh bunyi "whoa-whoa" yaitu ketika anak saya menghembuskan uap nafasnya ke tubuh umang-umang tersebut agar ia mau memunculkan dirinya. Dan di malam hari saya terganggu dengan bunyi "klotak-klotok", yaitu ketika umang-umang tersebut mencoba mengeksplorasi seantero lantai rumah.

Sekali waktu lagi anak saya membawa beberapa anak bebek. Seperti halnya piringan hitam, jarum suntik atau umang-umang, anak bebek juga pasti diperoleh secara cuma-cuma dari "alam bebas". Dia adalah afkiran dari sebuah perusahaan yang menyediakan bibit untuk peternakan.  Biasanya anak-anak bebek yang diafkir dan yang baru berusia beberapa hari ini adalah yang jantan. Saya dengar di peternakan modern anak bebek afkiran ini biasanya digiling dan kemudian dijadikan makanan lagi bagi saudara-saudaranya yang "survived".

Seperti biasanya, anak saya hanya akan asyik bermain dengan barang-barang hasil temuannya itu selama satu atau dua hari. Selanjutnya adalah tugas saya sebagai orangtua untuk mengurusi barang-barang tersebut. Kalau barang itu adalah barang mati, maka hal itu tidak terlalu menjadi persoalan: Buang saja ke tempat sampah. Tapi kalau barang itu adalah barang hidup?

Setiap malam, hampir selama seminggu, terpaksalah saya sibuk mengurusi "tempat tidur" untuk anak-anak bebek tersebut. Mereka tidak mungkin ditaruh di dalam kotak dan diletakkan begitu saja di luar, karena mereka akan mati dimangsa tikus atau kedinginan. Saya harus menyiapkan kotak khusus yang diberi lampu pijar dan diletakkan di atas rak buku. Tapi Tuhan memang selalu tahu apa yang terbaik bagi setiap ciptaannya. Suatu pagi saya menemukan anak-anak bebek itu telah kaku. Bersama dengan anak-anak saya membuat kuburan bagi anak-anak bebek itu dan memakamkannya secara baik. ("Kita nyanyi `Sai Patogu Rohangki", dong," kata puteri saya. Lalu kami nyanyikanlah lagu itu dengan sungguh-sungguh, dan ditutup dengan khotbah tentanganak bebek yang telah dibawa Tuhan masuk ke surga bebek).

Suatu waktu lagi anak saya membawa kura-kura yang berdiameter 10 senti. Memelihara kura-kura ternyata bukanlah pekerjaan yang sulit. Karena itu ketika satu atau dua hari kemudian anak saya mulai bosan dengan barang temuannya itu, saya tinggal menaruh kura-kura itu di kamar mandi terbuka di belakang--tempat mencuci pakaian. Sesekali, kalau saya atau isteri saya teringat, kami berikan dia potongan sayur, ikan teri atau udang. Dan lama kelamaan, saya jadi jatuh hati kepada kura-kura itu. Beberapa bulan setelah kura-kura itu menjadi anggota keluarga kami, secara kebetulan saya menemukan kura-kura lain sebagai pasangan hidupnya. (Saya tidak tahu apakah kura-kura yang pertama itu adalah
jantan atau betina, dan saya juga tidak tahu apakah kura-kura yang kedua itu adalah jantan atau betina. Tapi yang penting bagi saya, kura-kura itu kini punya teman untuk omong-omong).

Kura-kura yang kedua itu saya beli dari seorang Madura penjaja sate. Suatu malam saya melihat tukang sate itu sedang mengelus-elus seekor kura-kura. Katanya, kura-kura itu ditemukannya di sebuah jalan di dekat RS Islam--Cempaka Putih. Di punggung kura-kura itu ada tulisan aksara kanji. Saya tidak tahu apa artinya. Tapi saya pernah mendengar bahwa di kalangan orang Tionghoa ada kebiasaan "membuang sial".  Mereka membeli seekor kura-kura, menuliskan doa dan harapan tertentu di punggung kura-kura itu lalu melepaskannya. Dengan demikian nasib sial yang dituliskan di punggung kura-kura itu akan pergi bersamaan dengan melangkahnya si kura-kura.

Mula-mula saya agak segan juga untuk membeli kura-kura yang punggungnya bertuliskan aksara kanji itu. Tapi karena rasa kasihan terhadap kura-kura pertama yang hidup seorang diri itu, akhirnya saya beli jugalah kura-kura tersebut dari si pedagang sate. Ketika kami pindah dari bilangan Cempaka Putih ke Sumur Batu, kedua kura-kura yang telah saya anggap menjadi bagian dari keluarga itu tentu saja saya bawa. Ketika terjadi banjir besar pada tahun 2002, salah satu dari kura-kura itu, yaitu yang dibeli oleh anak saya dari depan sekolahnya, lenyap entah kemana.

Kini tinggallah kura-kura yang kedua pada kami, yaitu yang dulu di punggungnya ada tulisan aksara kanji. Kalau saya hitung-hitung, kura-kura itu sudah hidup bersama kami lebih dari 15 tahun. Dia selalu diam di baknya, yang saya buatkan khusus untuknya, di dekat pompa Sanyo. Kalau tidak ada orang di dekatnya, ia selalu mengeluarkan kepala dan keempat kakinya dari balik cangkangnya, lalu sibuk "menggerayangi" potongan kangkung atau serpihan ikan yang diletakkan di dekatnya. Tapi begitu melihat ada orang yang datang, ia langsung memasukkan kembali kepala dan keempat kakinya ke balik cangkangnya.

Kalau Natal dan Tahun Baru, ketika banyak anak-anak kecil berkunjung ke rumah, tentu saja kura-kura itu akan "diajak" masuk ke ruang tamu dan menjadi pusat perhatian anak-anak (agar mereka tidak terlalu ribut berlarian kesana-kemari). Bahkan kura-kura itu telah menjadi identitas diri saya di mata sebagian anak-anak. ("Amangtua yang punya kura-kura itu lho, Pak.").

Kini anak saya, yang menjadi penyebab hadirnya kura-kura di rumah kami, sudah dewasa dan tak pernah lagi memperdulikan kura-kura tersebut. Dan saya rasa dari seluruh penghuni rumah hanya sayalah yang masih terus perduli dengan kura-kura tersebut. Kalau hari libur, dan saya sedang tak punya kesibukan, saya menyikat cangkang kura-kura itu sampai bersih dan berkilat. Saya suka jongkok di dekat pompa Sanyo dan merenung-renung seraya memandang kura-kura tersebut. Entah mengapa, saya selalu melihat kura-kura itu sebagai lambang keabadian (atau mungkin secara lebih tepatnya, kebekuan) di tengah semua yang sedang berubah.

Ketika saya mulai memelihara kura-kura tersebut, anak saya masih duduk di bangku SD. Tapi tak terasa kini ia telah selesai kuliah dan bekerja. Sementara itu si kura-kura masih saja sama besarnya seperti belasan tahun yang lalu. Saya pernah membaca bahwa di Kepulauan Galapagos di Pasifik sana, ada kura-kura yang berumur ratusan tahun.  Saya juga pernah membaca mitologi dari sebuah kelompok masyarakat yang percaya bahwa dunia ini sebenarnya diletakkan di atas punggung kura-kura yang sangat besar. Dan pergantian siang menjadi malam, hari menjadi minggu dan seterusnya terjadi karena perjalanan kura-kura
seraya menyeret dunia yang ada di punggungnya itu.

Akhir-akhir ini hidup ekonomi saya memang sangat sulit. Dan karena itu--kadang-kadang--timbul juga pikiran yang bukan-bukan di kepala saya: "Apakah ini berkaitan dengan tulisan aksara kanji yang dulu ada di punggung kura-kura itu? Kalau kura-kura ini saya lepaskan entah dimana, boleh jadi hidup perekoniman saya akan lebih baik…." Tapi pikiran yang bukan-bukan itu tentu saja saya halau jauh-jauh: Betapa pun sialnya hidup perekonomian ini, dan entah apa pun kata orang-orang pintar di Gunung Kawi sana, tapi saya tak akan mungkin melepaskan sesuatu yang telah menjadi bagian dari hati dan kehidupan saya, demi sesuatu yang disebut sebagai "buang sial" dan "nasib baik".

Saya sudah bersahabat dengan kura-kura yang ada di rumah saya ini selama lebih dari 15 tahun. Kini yang ada di pikiran saya hanyalah: Berapa lama lagi kami akan hidup? Dan siapakah dari antara kami yang nanti akan lebih dulu pergi? Sementara itu di telinga saya terngiang-ngianglah bunyi gramafon primitif yang dulu dibeli anak saya dari depan sekolahnya, "Jesus loves you….Jesus loves you….Jesus loves you…." [.]

Oleh: Mula Harahap

0 komentar: