Pencaplokan Gaya India

Ketika mengambil alih Jaguar pada 1989 dan Land Rover 11 tahun kemudian, Ford Motor mengupayakan hal yang lazim: meningkatkan efisiensi perusahaan yang diakuisisi. Untuk itu, kampiun otomotif asal Detroit itu juga menggunakan cara lazim: pemangkasan karyawan, integrasi pengadaan, penggunaan-silang platform teknologi dan komponen. Pendek kata, Ford melakukan overhaul ulang.
Semua upaya itu terbukti gagal. Kedua merek bergengsi tersebut tak juga memberi sumbangan laba sehingga harus dilego, bahkan dengan harga lebih rendah ketimbang harga belinya. Artinya, baik Jaguar maupun Land Rover masih belum efisien dan, karenanya, Tata Motor sang pemilik baru perlu melakukan over-haul ulang. Begitu, kan, logikanya?
Jawabnya : "Ya" -- kalau Tata adalah perusahaan Barat.
Namun, Tata adalah gajah industri India. Maka, bisa dipastikan mereka.....tak akan melakukan apa-apa untuk memperbaik kerugian jangka pendek. Ketimbang mengupayakan laba, Tata akan mempelajari Jag dan Rover dari dekat ---- knowlegde, teknologi, jaringan pemasarannya ---- untuk membantu diri sendiri meluncurkan merek global. Lalu, pelan-pelan keduanya akan ditarik masuk ke India dan Tata akan menjajakan produk yang telah disuntik teknologi dan dilumuri citra merek mewah itu ke pasar dunia.
Kalau demikian, apa keuntungan yang diperoleh Tata dari US$ 2 miliar yang mereka belanjakan itu? Cukup banyak. Sebab, sebuah akuisisi lebih murah ketimbang menciptakan merek global dari nol. Dilakukan oleh banyak gajah industri lain, pendekatan seperti ini melahirkan fenomena pencaplokan gaya India.
Kita lihat saja. Pada 2007, Essar Global Ltd. membayar US$ 1,7 miliar untuk mendapatkan Algoma Steel Inc. Namun, alih-alih memangkas karyawan dan mengalihkan produksi ke India yang lebih murah, manajemen Essar mempertahankan manajemen dan seluruh manajemen Algoma, bahkan menaikkan gaji mereka. Essar juga mempertahankan para pemasok Algoma. Selain itu, Essar mengirim pada eksekutifnya ke Kanada untuk belajar dari perusahaan yang dicaploknya itu. Infosys Tecnologies Ltd. menyiapkan dana US$ 2 miliar lebih buat akuisisi. Dan, ini yang unik, mereka hanya akan mengakuisisi perusahaan yang manajemennya memang mau diakuisisi dan nantinya bekerja sama secara lekat dengan insan Infosy. Perusahaan India lainnya, Bharat Forge Ltd., banyak mencaplok perusahaan kecil AS dan Eropa, tapi hampir tak melakukan apa pun untuk merestrukturisasi mereka. "Perusahaan-perusahaan India, dan budaya mereka, menunjukkan kecenderungan untuk tidak masuk dan mengobrak-abrik tatanan," ujar Gene Donnelly, Mitra Pengelola Global untuk advisory dan pajak pada PricewaterhouseCoopers di New York, yang telah banyak membantu perusahaan India dalam M & A. "(Kalau) perusahaan pengakuisisian Barat, tentu akan masuk dan ngomong, 'I need to take cost out',"
Wipro Technologies yang telah membelanjakan US$ 1 miliar dalam akuisisi lintas negara beberapa tahun terakhir ini lebih banyak memanfaatkan perusahaan yang dicaploknya untuk belajar hal-hal seperti bagaiman memahami budaya lokal, kebiasaan beli pelanggan, bahkan hal-hal remeh semacam ekspetasi karyawan tentang liburan. Setelah beberapa lama, banyak manajer perusahaan yang diakusisi diberi peran untuk mengelola unit Wipro yang lebih besar.
Ambil contoh Tim Matlack. Eksekutif yang mengomandani bisnis konsultan energi dan utilitas American Management System Inc. ketika dibeli Wipro pada 2001 ini sekarang dipercaya memimpin bisnis konsultan global Wipro.
"From our point of view, it's important; cultullary, strategically, sometimes even tecnologically and of course financially to get the team to continue to run that business," ujar Lakhsminaraya, eksekutif yang bertanggung jawab atas strategi dan M & A pada Wipro.
Di antara para gajah industri India, Tata Group yang paling berpengaruh membentuk pendekatan ala India ini. "Kami berupaya mempertahankan manajemen untuk tetap tinggal setelah kami memngambil alih sebuah perusahaan,"ujar Rutan Tata. "Kami bangga dengan kemampuan kami memotivasi manajemen yang ada."
Pada akuisisi Tetley Tea, tahun 2000, misalnya, tak satu pun manajer senior perusahaan Inggris itu yang diminta mundur. Mereka bahkan mengirim pada manajer Tata Tea untuk belajar di Tetley tentang pembelian, branding dan ekspor teh ke pasar baru. Masih kurang? Tata Tea juga menanam lebih banyak fulus ke Tetley buat membiayai pengembangan mereka, termasuk melalui berbagai akuisisi.
Dengan pendekatan yang berbeda ini, Tata dapat menerapkan apa yang dipelajari dari Tetley tentang bagaiamana membuat kualitas yang konsisten di semua merek yang dimiliki. Selain itu, Tata juga membawa merek Tetley menembus pasar baru, seperti Pakistan dan Bangladesh. Perusahaan Tata lainnya, Tata Steel, juga membiarkan seluruh manajemen Corus yang dibeli senilai US$ 13,2 miliar itu tetap utuh. Seballiknya, mereka justru belajar bagaimana membuat baja kualitas tinggi buat memenuhi kebutuhan industri otomotif dalam negeri India yang marak.
Kendati demikian, banyak pakar yang masih skeptis tentang potensi akuisisi Tata Motors yang hanya produsen mobil ke kelas bawah itu. "Once you get into Jaguar/Lan Rover, you can make big mistakes.....The Luxury business is very fickle," ujar Robert Lutts, pemegang saham Tata yang mengelola dana sekitar US$ 500 juta sebagai President dan Chief Investment Office Cabot Money Management di Salem, Massachusetts.
Kekhawatiran Lutts jelas berdasar. Namun, insan Jag dan Rover di Inggris yakin betul pada kemampuan Tata. Dan, rekam jejak Tata yang hampir tak pernah memangkas karyawan membuat mereka semua mendukung gajah industri India itu.
Keyakinan seperti ini saja, kita tahu, sudah merupakan 50% sukses bagi Tata.
Sumber : Swa 08/XXIV/17-29 April 2008

1 komentar: