Niat baik akan sia-sia bila disalurkan dengan cara tidak tepat. Pesan ini agaknya perlu segera disampaikan ke Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad. Wali Kota bertekad mendorong para murid sekolah dalam wilayah administrasinya giat dan disiplin belajar. Dengan demikian, kualitas pendidikan akan meningkat. Niat mulia. Sayang, cara yang dipilih justru berpotensi menjerumuskan anak-anak ke dalam disiplin semu serta ketakutan. Pemerintah Bekasi akan menerapkan jam malam bagi pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah umum mulai 2 Mei nanti.
Mereka diwajibkan belajar di rumah antara pukul 19.00 dan 21.00. Setiap pelanggar akan dicabut fasilitasnya bersekolah gratis di sekolah negeri.
Jam malam adalah larangan keluar rumah yang lazimnya diberlakukan dalam situasi darurat-perang, kerusuhan, bencana. Aturan ini dipakai ketika cara normal dipandang tidak mampu mengendalikan keamanan dan ketertiban. Boleh jadi, Wali Kota Mocthar dan para pembantunya menganggap ini terobosan jitu meneggakkan disiplin. Oke, ketertiban mungkin bisa dicapai. Tapi konsekuensinya jelas tak sepadan.
Menerapkan jam malam yang melibatkan satuan polisi pamong praja jelas-jelas pendekatan militeristis dan otoriter yang mengintervensi hak dan kebebasan anak. Bayangkan efek psikologis yang ditanggung anak-anak dan orang tua mereka tatkala satuan polisi pamong praja menggelandang anak-anak dari jalanan atau pusat keramaian.
Konsekuensi lain, peran pengawasan yang sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab orang tua dan institusi pendidikan diambil alih oleh polisi pamong praja. Mohon diingat, belajar adalah proses edukasi yang perlu ditempuh dalam suasana merdeka, nyaman, dan gembira. Proses itu dimulai dari keluarga. Cerita Totto-chan dari Jepang yang amat masyhur adalah contoh yang perlu dibaca oleh para kepala daerah.
Dalam buku itu dikisahkan "legenda" bernama Guru Kepala Kobayashi. Dia melahirkan anak-anak dengan prestasi luar biasa melalui sebuah "sekolah alam" yang mempercayakan sepenuhnya kebebasan bertindak dan berpikir pada anak. Kobayashi menerabas kekakuan sekolah formal yang mengungkung anak-anak dalam aturan serba kaku dan keras.
Guru tua itu melahirkan antitesis pendidikan konvesional Jepang yang sulit diterima pada masa itu. Yakni, semakin anak dididik dalam suasana merdeka, segenap indra dan kemampuannya - termasuk disiplin dan tanggung jawab - akan bertumbuh dengan semarak. Dan terbukti.
Guru Kobayashi tidak hidup di Bekasi, tapi boleh juga pemerintah daerah tetangga Jakarta itu meniru caranya "membebaskan" beban anak. Pemerintah Bekasi bisa lebih banyak membantu berbagai sekolah. Bermacam lomba yang bersifat edukatif dapat digiatkan. Prestasi sekolah bisa didorong melalai banyak cara cerdas. Wali Kota tak perlu menambah bujet. Cukup alihkan dana operasional jam malam untuk hal-hal bermanfaat ini.
Kalau masih tidak percaya bahwa cara-cara "keras" akan berakhir tanpa hasil, belajarlah dari Ambon, yang memberlakukan jam malam pada 2004 setelah kerusuhan, juga dari Batam, dan Banjarbaru di Kalimantan Selatan. Dari sana tidak terdengar telaah positif yang bisa dicontoh. Justru banyak orang tua protes karena kehidupan anak mereka diawasi polisi.
Sebaiknya Bekasi dan kota-kota lain yang berniat menerapkan jam malam membatalkan saja aturan itu. Pada zaman serba canggih ini tersedia banyak cara pintar untuk mendidik pelajar. Jangan pilih cara dengan efek buruk bagi mereka yang sedang bertumbuh itu.
Sumber : Tempo, 27 April 2008
0 komentar:
Post a Comment