Umat Parmalim hingga kini masih belum diakui secara administrasi sebagai keyakinan di Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan mereka sulit masuk ke instansi resmi, terutama pemerintahan. Mereka kerap terpaksa menerima identitas lain dalam urusan administrasi.
"Sangat sulit memperoleh KTP. Aparat pemerintah tidak mau mengakui kami sebagai pemeluk Parmalim. Mereka baru memberi KTP jika kami mengakui salah satu dari agama yang diakui pemerintah," kata Relita boru Manurung (26 th), Kamis (17/7/2008), ditemui saat ritual sipahal lima di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir.
Relita yang juga lulusan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Medan itu sulit mencari kerja. Dia kerap ditanya soal identitas agama, yang menurutnya tidak ada hubungannya dengan pekerjaan yang dicarinya. Kini dia terpaksa memilih salah satu agama yang diakui pemerintah.
"Saya meminta agama ditulis Parmalim, tetapi tidak diakui petugas," katanya. Soal pendidikan, dia terpaksa menempuh pelajaran agama yang diakui pemerintah.
Kesulitan yang sama dialami oleh Aman Sirait (47 th). Dia yang kini sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Bagian Organisasi Kabupaten Serdang Bedagai mengisi kolom agama yang diakui pemerintah. "Saya pillih yang mudah saja. Saya tetap menjadi Parmalim bersama keluarga dari dahulu," katanya.
Kendati demikian, identitas Parmalim sempat tercantum di surat pengangkatan PNS. Sementara ini cukup melegakannya meski identitas itu hanya tercantum di SK PNS saja. Dia menginginkan pemerintah bersikap adil kepada semua pemeluk agama, termasuk menjamin kebebasan beragama.
"Selain soal identitas agama, kami belum leluasa mendirikan tempat ibadah. Ada umat lain yang keberatan saat kami mendirikan tempat ibadah di Medan," kata Aman Sirait.
Pimpinan Parmalim yang berpusat di Huta Tinggi, Raja Marnakkok Naipospos, mengatakan, umat Parmalim saat ini berjumlah sekitar 2.000 keluarga. Mereka tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang terkonsentrasi di Sumut. Pada peringatan sipaha lima (bulan kelima) kali ini mereka pemeluk Parmalim berkumpul di Huta Tinggi melakukan ritual ibadah. Ritual ini berlangsung tiga hari sebagai ungkapan rasa syukur kepada Mula Jadi Nabolon (Sang Maha Kuasa).
Marnakkok mengatakan, soal identitas agama memang belum selesai. Persoalan identitas agama itu, katanya, lebih banyak dirasakan kaum muda. Mestinya pemerintah menghargai agama yang lahir, berkembang, dan dipeluk warga Indonesia sendiri.
Sumber : Kompas, Jumat, 18 Juli 2008
0 komentar:
Post a Comment