Sosiopsikologis Pribumi Terhadap Etnis Tionghoa

Konon, para imigran China (Tionghoa) mulai datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19. Umumnya mereka berasal dari Propinsi Fukien bagian selatan dan Kwantung. Hingga saat ini, sesuai dengan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistis (BPS) Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di medan 202.839 jiwa.

Biasanya mereka hidup dalam suatu ikatan kelompok atau struktur organisasi sebagaimana lazimnya, baik dalam kelompok sosial kemasyarakatan maupun keagamaan. Meskipun jumlah mereka lebih sedikit ketimbang penduduk umumnya di medan, namum kehadiran mereka mudah ditandai, yakni dengan melihat tempat pemukiman atau tempat tinggalnya. Terlebih hampir di seluruh pusat-pusat perbelanjaan dan sepanjang jalan-jalan di inti kota ini (Medan) dijadikan rumah tempat tinggal mereka sekaligus membuka usaha.

Lusiana A Lubis, dosen FISIP USU, dalam tulisannya "Menjembatani Sekat Komunikasi (Di Antara Etnis Tionghoa Dan Pribumi)", berpendapat....lain halnya dengan Tionghoa Medan, ada kecenderungan kesadaran akan menjunjung nilai-nilai budaya tempatan tidak diindahkan. Hal ini menyebabkan peluang dan kesempatan dalam proses asimilasi/pembauran jauh dari pengharapan. Bahkan etnis Tionghoa di Medan dijuluki "China Medan yang Ekslusif" bukan dari warga pribumi saja tapi juga dari sesama etnis Tionghoa di luar Medan.

Menurut Lusiana, hal ini mungkin disebabkan tidak adanya budaya yang dominan di Medan. Contohnya di Sumatera Barat, budaya dominan adalah budaya Padang, maka etnis minoritas seperti etnis Tionghoa berasimilasi dengan bahasa setempat. Begitu juga di Pakanbaru Riau, masyarakat di sana menggunakan bahasa Riau tanpa terkecuali etnis Tionghoanya. Ataupun di Pulau Jawa, etnis Tionghoa menggunakan bahasa Jawa walau antar sesama mereka.

Meskipun kadangkala, secara sadar ataupun tidak disengaja, kita juga pernah melakukan hal yang sama. Semisal bila berjumpa dengan grup suku Batak memakai bahasa Batak, sesama orang Padang maka menggunakan bahasa Padang, jumpa di jalan sesama suku Karo berbahasa Karo.

Lain halnya analisa Drs.H. Syaukani, M.Ed, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara. Dalam studi empirisnya tentang analisa sosiopsikologis sikap masyarakat Muslim terhadap tetangga merekam etnis Tionghoa, di Medan, dia menemukan bahwa sampai sejauh ini usaha pembauran WNI keturunan Tionghoa dengan masyarakat umum masih belum memuaskan. Ada ganjalan psikologis yang signifikan dan memengaruhi timbulnya jarak hubungan, kendati harus diakui etnis Tionghoa punya hak yang sama sebagai WNI.

Menurut Syaukani, hubungan antara WNI keturunan dengan masyarakat umum masih terbatas pada kalangan dan kegiatan tertentu saja, seperti di bidang ekonomi dan pendidikan. Sedangkan usaha-usaha pembauran dalam bentuk asimilasi melalui perkawinan antar etnis, peralihan agama, penggantioan nama, toh dinilai belum berhasil.

Begitupun mellui cara desegragasi (penghapusan pemisahan yang bersifat rasial) di pemukiman. Dari  pihak etnis Tionghoa muncul rasa was-was dan kekhawatiran bahkan trauma karena pengalaman masa lalu seperti tragedi Mei 1998, sehingga jika harus berbaur lagi ke tengah pemukiman rakyat dikhawatirkan bisa berakibat lebih fatal. Di pihak lain, penduduk asli sebagai kelompok mayoritas juga belum tentu bersifat toleran, karena mereka masih curiga bahwa pembauran pemukiman merupakan suantu bentuk "penjajahan" baru yang pada gilirannya menggeser mereka ke tempat yang lebih terpencil.

Hasil pendapat responden penelitiannya, Syaukani mendeskripsikan 6 hal positif yang dilihat dari kebiasaan orang Tionghoa, yakni gigih dalam berusaha, disiplin, jujur, toleran, bersih dan ramah. Sehingga sikpa pribumi terhadap hal positif ini adalah menghargai kebiasaan tersebut dan mereka ingin mencontohnya.

Sebaliknya, ada juga hal negatif dari etnis Tionghoa. Yaitu, bersikap sombong dan tidak mau bermasyarakat di lingkungannya. Misalnya mereka selalu mengunci pintu pagar rumah, lebih suka berkumpul sesamanya saja, tidak mau bicara kecuali masalah bisnis, dan kurang menghargai orang-orang tua pribumi. Responden juga berpendapat orang Tionghoa bersifat kotor karena suka mengucap kata kotor, suka menipu (menjual barang tiruan), pelit, tidak mau gotong royong (dalam artian terjun langsung ikut bekerja).

Maka intinya, tulis Syaukani, orang Tionghoa perlu menghindari sikap eksklusif, karena sikap ini akan mengakibatkan kecemburuan sosial masyarakat dan kurang persaudaraan yang mengarah kepada timbulnya sosial konflik.

Sumber :Medan Bisnis, Minggu, 31 Agustus 2008 

0 komentar: