POTENSI KESESATAN "THE SECRET"

POTENSI KESESATAN "THE SECRET"

Demam The Secrets sungguh fenomenal. Setelah mengguncang Amerika dan si pengarang buku diundang ulang ke acara Oprah Winfrey Show dalam minggu yang berurutan beberapa waktu lalu, hari-hari ini demam itu melanda Indonesia. Tak ada yang aneh karena janji untuk sukses di bidang apa pun dengan cara gampang pasti diminati banyak orang.
Bahkan bila orang yang berminat menerapkan cara itu terpaksa merogoh kantung, tak sekadar membeli buku dan melihat filmnya. Tapi merasa mesti ikut kursus pendalaman dengan menghadiri seminar-seminar yang diadakan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai para ”pakar” The Secrets agar bisa menerapkan jurusnya dengan benar.
Yang jelas akan terjadi adalah bahwa kiat The Secrets berlaku bagi para pakar tersebut karena pasti mereka mendapat pemasukan dari seminar untuk mewujudkan impiannya. Sementara bagi orang yang berharap akan memahami dan bisa menerapkan kiat The Secrets dengan benar bisa jadi akan tambah bingung dan prosesnya lebih berbelit untuk mendapatkan manfaat.
Dari yang saya baca, yang jelas buku itu banyak berisi catatan post factum atau analisis setelah kejadian bahwa orang pernah mengalami begini-begitu sesuai yang dikatakan The Secrets. Bahwa cara otak-atik gathuk (dihubung-hubungkan ) menurut istilah orang Jawa itu akan berulang dan memberi hasil seperti diharapkan kalau dilakukan lagi secara konsisten.
Bagi saya buku ini terkesan mengingkari hukum alam. Bukankah ketidakpastian dan perubahan itu sendiri yang menjadi keniscayaan dan bahwa setiap hal biasanya ada asal muasalnya. Tegasnya sesuatu tidak begitu saja mewujud seperti jatuh dari langit, meskipun konon Semesta (banyak orang menyebutnya sebagai Tuhan) begitu kaya dan memberi apa pun yang diminta manusia.
Dan di dalam buku itu berkali-kali ditekankan perlunya meyakini sepenuhnya anggapan bahwa apa yang dipikirkan akan dapat mewujud. Dari sesuatu yang sekadar gagasan atau bahkan khayalan benar-benar akan menjadi sebentuk materi seperti mobil, rumah atau benda apa pun yang bisa dibayangkan.
Semua soal di dunia ini konon tak ada yang baru. Eforia dalam menyambut The Secrets ini selalu muncul dalam era ketidakpastian karena tekanan hidup membuat banyak orang cenderung mencari jalan pintas. Jalan yang seakan menjadi obat ampuh untuk segala macam penyakit meskipun penjelasannya cenderung tak bisa diperinci secara objektif.

Moral yang selalu diangkat dalam buku The Secrets untuk tetap punya harapan, bersemangat dan bersikap positif sangat bagus. Tapi penyederhanaan yang mengabaikan aspek bagaimana mencapai tujuan, karena justru sangat disarankan, menurut saya bisa sangat menyesatkan.
Betapa anjuran untuk mengetahui apa yang dimau, meyakini bahwa apa yang dimau sudah diterima, dan kemudian berpasrah diri karena semua akan mewujud dengan sendirinya karena semua mekanismenya tak lepas dari berjalannya ”hukum tarik-menarik” (law of attractions) sangat bisa disalahmengerti oleh banyak orang.
Untuk mereka yang punya kemampuan tertentu, dalam arti punya tim, strategi, dan networking yang luas, bisa jadi itu semua benar. Tapi bagi individu dengan sumber daya lebih terbatas, langkah untuk tahu apa yang benar-benar diinginkan, yakin, dan pasrah itu cenderung seperti anjuran untuk sepenuhnya menggantungkan diri pada tuah keajaiban lampu Aladin.
Mengutip ungkapan satu teman, coba berikan buku The Secrets pada pengemis atau pemulung. Kemungkinan besar dia akan membuang buku itu ke tempat sampah. Alasan utamanya bisa dibayangkan apa yang bisa dilakukan oleh mereka yang sekadar menggantungkan pada belas kasihan orang dan tak punya networking dengan orang lain di luar kelompoknya setelah membacanya.

Terus terang saya skeptis dengan berbagai eforia yang terjadi. Meskipun banyak orang yang mengklaim telah mengalami apa yang terpapar dalam The Secrets, bagi saya kebanyakan hanya pernyataan yang sangat sumir. Tak ada patokan baku mana yang disebut sukses dan apakah itu benar hasil dari langkah The Secrets yang dia lakukan.
Yang terutama adalah betapa sulitnya untuk membakukan cara ”Rahasia” untuk mewujudkan apa yang dimau. Soalnya pengalaman setiap orang tak ada yang sama. Setiap orang adalah unik dan seharusnya mengembangkan keunikannya itu untuk bisa mendapatkan manfaat, khususnya secara ekonomis.
Apalagi pendekatan The Secrets lebih menekankan pada faktor emosional yang katanya lebih menentukan sukses seseorang. Memang benar emosi ini penting. Tapi benarkah bila sudah emosional dan sepenuh hati dalam diri akan mendapatkan hasil sesuai keinginan karena yang akan didapat juga banyak tergantung pada faktor eksternal.
Faktor eksternal ini bisa berupa apa saja, khususnya yang berupa hambatan. Tapi yang jelas ini faktor yang sungguh nyata harus diatasi untuk bisa memperlancar pencapaian tujuan. Dan sayangnya seperti dianjurkan buku The Secrets, detil rencana dan rincian sama sekali tak penting karena bila sudah tahu keinginan, yakin itu akan dicapai, dan pasrah, sukses akan dicapai.
Sungguh saya tak bermaksud meremehkan makna The Secrets bagi mereka yang benar-benar meyakini tuahnya. Yang saya ingin tegaskan adalah bahwa orang harus tetap mengutamakan penggunaan nalarnya untuk menjalani apa yang diyakininya. Bahwa bisa jadi cara itu memang tidak cocok untuk setiap orang.
Yang juga ingin saya tegaskan adalah apakah tidak sebaiknya kita tetap siap bekerja cerdas—dan keras--setiap saat sambil sesekali berharap hukum itu hanya sewaktu-waktu saja secara acak menunjukkan keampuhannya. Dan bukankan lebih bijak untuk tak lelah menata infrastruktur hukum, sosial, dan ekonomi agar pemerataan kesejahteraan bagi setiap orang lebih terjamin. Bagaimana menurut Anda?

 

by Rab A Broto

 

0 komentar: