Orang Terkaya AS dan EBP (Artikel 2)

Dari sini terlihat jelas bahwa pentingnya  peran technopreneur, yakni wirausaha bidang tekonologi, dalam merespons perkembangan zaman. Selain menelurkan tenaga-tenaga TI yang kapabel, pendidikan itu sendiri diharapkan bisa mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Coba kita simak sedikit riwayat hidup Bill Gates. Bill Gates seharusnya bangga karna di tahun 1973 ia diterima di Universitas Harvard yang amat sangat bergengsi (saya tidak tau, apakah dia masuk melalui UMPTN atau PMDK). Namun gilanya si Bill ini, pada tahun awal ia sudah ‘men-DO-kan diri karena ingin mencurahkan segenap tenaga dan pemikirannya untuk Microsoft, perusahaan yang didirikan tahun 1975 dengan teman tapi mesra eh, teman semasa remajanya, Paul Allen (apakah anda-anda ada yang berani men-DO-kan diri? yang ada di DO..iya nggak?). Seperti mendapat “wangsit” (mungkin setelah semedi di kuburan Mbah Tarjo)  mereka memiliki keyakinan bahwa PC akan menjadi alat yang sangat berguna di setiap kantor dan di setiap rumah sehingga mereka lalu terpanggil untuk membuat program untuk PC.

Di sinilah tampak betapa kecerdasan Gates mampu melihat apa yang akan terjadi pada masa depan (di Indonesia juga banyak nih yang bisa ‘melihat’ masa depan) dan menangkap apa yang akan dibutuhkan. Lebih dari itu, ia memberanikan diri untuk memenuhi panggilan hidup untuk membela visi yang diyakini tersebut dengan mendirikan perusahaan (bahkan pernah dibikin filmnya, kalau tidak salah judulnya Pirates of Silicon Valley).

Demikian juga dengan orang terkaya lainnya, Larry Ellison, yang mendirikan Oracle tahun 1977 dengan mengerahkan semua uang 2.000 dollar AS miliknya. Riwayatnya juga tidak seluruhnya bulan purnama karena tahun 1990 Oracle dilanda krisis dan nyaris bangkrut. Di luar itu, Oracle survive dan kini banyak disebut sebagai perusahaan pembuat perangkat lunak nomor dua di dunia.

Lalu bagaimana Indonesia menanggapi zaman (ekonomi) baru ini?

Mau tak mau harus merespon, jika tidak akan semakin jauh tertinggal. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Mohammad Nuh sempat menyebut perlunya dicapai massa kritis agar TI memberi manfaat berarti bagi pertumbuhan Indonesia. Maksud Pak Menteri, tentu tidak saja pengetahuan TI semakin merasuk dalam sendi kehidupan bangsa, tetapi juga berarti karena tenaga TI yang mencapai massa kritis akan lebih mudah menggerakkan semangat kewirausahaan.

Dalam kaitan dengan EBP – bukan EGP -, sebenarnya bidang yang terbuka tidak semata TI karena elemen fundamental di sini adalah pada aspek daya saing, yang muncul karena adanya keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif.

EBP – yang mulai sering disebut-sebut di sini pada awal 1990-an – menyiratkan bahwa negara tidak dapat bersandar pada ekonomi semata, tetapi juga pada semua aktivitas kehidupan warganya dalam proses penciptaan, pemanfaatan, dan pendistribusian pengetahuan. Penerapan EBP dimaksudkan untuk memacu daya saing, produktivitas, dan pertumbuhan dengan pendekatan baru, melalui pendidikan, inovasi, pemanfaatan TI, meluaskan jejaring kerja sama, dan – yang tidak kalah pentingnya menurut Prof. Zuhal – adalah melalui pemberian peranan baru yang berbeda kepada pemerintah.

Sejumlah negara, seperti Norwegia (yang kini terkenal dengan salmon dan ekspor migasnya) dan juga Finlandia (dengan industri telepon selulernya) adalah contoh sukses melalui penerapan EBP – sekali lagi bukan EGP.  Indonesia dalam hal ini pun perlu menetapkan langkah, kalaupun bukan menciptakan “orang terkaya”, untuk memperbaiki perikehidupan rakyat pada umumnya (ah seperti penataran P4 aja)

0 komentar: